http://www.infoanda.com/linksfollow.php?lh=UFBUUAFSV1ABKekakuan dan kekuatan pondasi harus lebih besar dari struktur bangunan atas.
Masjid Raya Baiturrahman di Nanggroe Aceh Darussalam (NAD)
masih kokoh berdiri saat bangunan di sekitarnya hancur tak bersisa.
Kejadian 26 Desember 2004, merupakan kenangan buruk yang tidak bisa
dilupakan di dunia. Karena, kejadian di Indonesia, Malaysia, Thailand,
Bangladesh, Maladewa, Srilanka dan India ini menelan sekitar 300 juta
jiwa korban.
Saat itu, pukul 07.58 WIB. Gempa berkekuatan 8,9
skala richter (SR) pada kedalaman 30 km di bawah laut yang memicu
tsunami menerjang bumi serambi Makkah. Gempa susulan pun terjadi di
Nicobar sebesar 7,5 SR dan di Kepulauan Andaman sebesar 6,2 SR. Tidak
hanya korban jiwa, semua infrastruktur hancur. Rumah rata dengan tanah,
sekolah, rumah sakit, dan infrastruktur lainnya hanya tinggal puing.
Hanya satu yang berdiri teguh yaitu Masjid Raya Baiturrahman dan menjadi
tempat aman untuk menaungi pengungsi.
Kekokohan masjid itu
salah satunya karena kekuatan pondasinya. Karenanya, ketika gempa
datang, masjid seolah tak bergeming. Mungkin jika pondasi sekolah sekuat
pondasi Baiturrahman, tidak banyak infrastruktur yang hancur lebur.
Di
Jepang bangunan tahan gempa banyak ditemukan. Namun, perjalanan
bangunan tahan gempa ini tidaklah cepat. Kesadaran untuk rancang bangun
struktur bangunan tahan gempa dimulai di Jepang setelah gempa besar
melanda Tokyo pada 1855. Setelah itu, konstruksi bangunan di Jepang
dilaksanakan dengan menggunakan sistem struktur tahan gempa sederhana
dengan cara memasang struktur rangka batang silang sebagai elemen
struktur pembuat kaku, baik dalam arah horisontal maupun vertikal.
Menurut
guru besar dari Program Studi Teknik Sipil, Fakultas Teknik Sipil dan
Lingkungan Institut Teknologi Bandung (ITB), Bambang Budiono, struktur
bangunan tahan gempa kemudian dikembangkan ahli struktur Eropa pada abad
19. Insinyur Eropa saat itu mengusulkan untuk merancang struktur dengan
memperhatikan beban gempa sebagai beban horisontal. Beban ini
diperhitungkan sebagai persentase kecil dari berat struktur.
Sejak
1995, konsep desain struktur bangunan tahan gempa berkembang menjadi
desain kinerja struktur tahan gempa. Kinerja ini bergantung pada
integritas sistem struktur bawah atau pondasi dan struktur atas.
Untuk
menjamin kinerja struktur yang baik, ada tiga hal yang harus
diperhatikan. Pertama, pemilihan lokasi yang sesuai. Kedua, kata
Bambang, pemilihan sistem dan material struktur yang memadai. Ketiga
konfigurasi struktur yang memenuhi sejumlah syarat. Di antaranya denah
yang simetris dan pelat lantai harus kaku sebagai diafragma yang
berfungsi membagi gaya horisontal gempa ke elemen vertikal seperti
kolom, dinding geser, dan lainnya.
''Indonesia pun bisa
melakukan itu. Apalagi kalau dilihat secara seismograf Indonesia
merupakan daerah dengan aktivitas gempa bumi tektonik yang tinggi,''
ujar Bambang, usai pidato ilmiahnya dalam Dies Natalis ITB ke 48, di
Bandung, Sabtu (3/3).
Indonesia, sambung dia, terletak pada
pertemuan empat lempeng tektonik utama yaitu lempeng Eurasia,
Indo-Austria, Pasifik, dan Filipina. Pertemuan lempeng-lempeng tersebut
mengakibatkan mekanisme tektonik dan kondisi geologi Indonesia menjadi
lebih rumit. Dalam rentang waktu 1897 hingga 2000, terdapat sekitar
8.237 gempa di Indonesia.
Desain struktur di Indonesia, kata Bambang, telah mensyaratkan kinerja struktur sesuai dengan state of the art.
Itu bisa dilihat di Jembatan Cisomang, Menara Jakarta dan gedung The
Peak Jakarta. Pada Jembatan Cisomang dan Menara Jakarta
teroperasionalkan dengan baik. Maksudnya saat gempa besar terjadi
kerusakan yang terjadi minimum. Sedangkan, The Peak Jakarta bersifat
elastik. Karena gedung ini didesain dengan dinding geser beton dominan
untuk memperoleh kekakuan yang tinggi.
Bambang menjelaskan,
pondasi harus didesain dengan secara baik. Sehingga kekakuan dan
kekuatan pondasi lebih besar dari struktur bangunan atas. Dengan
demikian, selama terjadi gempa kuat tidak didahului dengan keruntuhan
pondasi.
Ruang lingkup analisis struktur bangunan tahan gempa,
kata Bambang, meliputi analisis respons struktur baik dinamik maupun
statik ekuivalen akibat percepatan gempa bumi yang ditransfer kepada
bangunan melalui pondasi ke struktur bangunan atas. Keruntuhan tanah
akibat gerakan patahan, longsoran, atau liquifaksi untuk tanah pasir
yang menyebabkan keruntuhan struktur bangunan, tidak termasuk dalam
ruang lingkup struktur bangunan tahan gempa.
Konfigurasi
struktur bangunan tahan gempa diusahakan berbentuk simetris baik untuk
denah maupun arah vertikal. Level desain gaya gempa dibagi dalam tiga
kategori yaitu gempa ringan, gempa sedang, dan gempa kuat. Hubungan
antara gaya geser dasar dan deformasi atap dapat digunakan sebagai dasar
penentuan kinerja struktur bangunan tahan gempa.
Desain
struktur tahan gempa didasarkan atas kinerja struktur yang merupakan
fungsi kepentingan penggunaan bangunan. Makin penting dan makin
berbahaya fungsi bangunan terhadap manusia seperti gudang senjata, maka
level desain gaya gempa makin meningkat dengan batas deformasi yang
lebih kecil.
Seperti dalam dokumen structural engineer association of California (SEAOC) 1995, kinerja struktur dibagi ke dalam tiga bagian. Pertama, bengunan kategori basic objective
seperti gedung sekolah, perkantoran, jembatan yang boleh rusak berat
namun tidak roboh bila dibebani gempa kuat. Kedua bangunan kategori essential objective
seperti rumah sakit, gedung pemadam kebakaran dan kantor polisi boleh
rusak ringan sampai rusak moderat. Ketiga, bangunan kategori safety critical objective seperti gudang senjata
sumber: http://www.infoanda.com/linksfollow.php?lh=UFBUUAFSV1AB
Tidak ada komentar:
Posting Komentar