WELCOME TO MY BLOG (it's my life)

Keep Smiling, Always Forgiving :)

Jumat, 10 Februari 2012

Struktur Bangunan Tahan Gempa di Indonesia

http://www.infoanda.com/linksfollow.php?lh=UFBUUAFSV1ABKekakuan dan kekuatan pondasi harus lebih besar dari struktur bangunan atas.


Masjid Raya Baiturrahman di Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) masih kokoh berdiri saat bangunan di sekitarnya hancur tak bersisa. Kejadian 26 Desember 2004, merupakan kenangan buruk yang tidak bisa dilupakan di dunia. Karena, kejadian di Indonesia, Malaysia, Thailand, Bangladesh, Maladewa, Srilanka dan India ini menelan sekitar 300 juta jiwa korban.
Saat itu, pukul 07.58 WIB. Gempa berkekuatan 8,9 skala richter (SR) pada kedalaman 30 km di bawah laut yang memicu tsunami menerjang bumi serambi Makkah. Gempa susulan pun terjadi di Nicobar sebesar 7,5 SR dan di Kepulauan Andaman sebesar 6,2 SR. Tidak hanya korban jiwa, semua infrastruktur hancur. Rumah rata dengan tanah, sekolah, rumah sakit, dan infrastruktur lainnya hanya tinggal puing. Hanya satu yang berdiri teguh yaitu Masjid Raya Baiturrahman dan menjadi tempat aman untuk menaungi pengungsi.
Kekokohan masjid itu salah satunya karena kekuatan pondasinya. Karenanya, ketika gempa datang, masjid seolah tak bergeming. Mungkin jika pondasi sekolah sekuat pondasi Baiturrahman, tidak banyak infrastruktur yang hancur lebur.
Di Jepang bangunan tahan gempa banyak ditemukan. Namun, perjalanan bangunan tahan gempa ini tidaklah cepat. Kesadaran untuk rancang bangun struktur bangunan tahan gempa dimulai di Jepang setelah gempa besar melanda Tokyo pada 1855. Setelah itu, konstruksi bangunan di Jepang dilaksanakan dengan menggunakan sistem struktur tahan gempa sederhana dengan cara memasang struktur rangka batang silang sebagai elemen struktur pembuat kaku, baik dalam arah horisontal maupun vertikal.
Menurut guru besar dari Program Studi Teknik Sipil, Fakultas Teknik Sipil dan Lingkungan Institut Teknologi Bandung (ITB), Bambang Budiono, struktur bangunan tahan gempa kemudian dikembangkan ahli struktur Eropa pada abad 19. Insinyur Eropa saat itu mengusulkan untuk merancang struktur dengan memperhatikan beban gempa sebagai beban horisontal. Beban ini diperhitungkan sebagai persentase kecil dari berat struktur.
Sejak 1995, konsep desain struktur bangunan tahan gempa berkembang menjadi desain kinerja struktur tahan gempa. Kinerja ini bergantung pada integritas sistem struktur bawah atau pondasi dan struktur atas.
Untuk menjamin kinerja struktur yang baik, ada tiga hal yang harus diperhatikan. Pertama, pemilihan lokasi yang sesuai. Kedua, kata Bambang, pemilihan sistem dan material struktur yang memadai. Ketiga konfigurasi struktur yang memenuhi sejumlah syarat. Di antaranya denah yang simetris dan pelat lantai harus kaku sebagai diafragma yang berfungsi membagi gaya horisontal gempa ke elemen vertikal seperti kolom, dinding geser, dan lainnya.
''Indonesia pun bisa melakukan itu. Apalagi kalau dilihat secara seismograf Indonesia merupakan daerah dengan aktivitas gempa bumi tektonik yang tinggi,'' ujar Bambang, usai pidato ilmiahnya dalam Dies Natalis ITB ke 48, di Bandung, Sabtu (3/3).
Indonesia, sambung dia, terletak pada pertemuan empat lempeng tektonik utama yaitu lempeng Eurasia, Indo-Austria, Pasifik, dan Filipina. Pertemuan lempeng-lempeng tersebut mengakibatkan mekanisme tektonik dan kondisi geologi Indonesia menjadi lebih rumit. Dalam rentang waktu 1897 hingga 2000, terdapat sekitar 8.237 gempa di Indonesia.
Desain struktur di Indonesia, kata Bambang, telah mensyaratkan kinerja struktur sesuai dengan state of the art. Itu bisa dilihat di Jembatan Cisomang, Menara Jakarta dan gedung The Peak Jakarta. Pada Jembatan Cisomang dan Menara Jakarta teroperasionalkan dengan baik. Maksudnya saat gempa besar terjadi kerusakan yang terjadi minimum. Sedangkan, The Peak Jakarta bersifat elastik. Karena gedung ini didesain dengan dinding geser beton dominan untuk memperoleh kekakuan yang tinggi.
Bambang menjelaskan, pondasi harus didesain dengan secara baik. Sehingga kekakuan dan kekuatan pondasi lebih besar dari struktur bangunan atas. Dengan demikian, selama terjadi gempa kuat tidak didahului dengan keruntuhan pondasi.
Ruang lingkup analisis struktur bangunan tahan gempa, kata Bambang, meliputi analisis respons struktur baik dinamik maupun statik ekuivalen akibat percepatan gempa bumi yang ditransfer kepada bangunan melalui pondasi ke struktur bangunan atas. Keruntuhan tanah akibat gerakan patahan, longsoran, atau liquifaksi untuk tanah pasir yang menyebabkan keruntuhan struktur bangunan, tidak termasuk dalam ruang lingkup struktur bangunan tahan gempa.
Konfigurasi struktur bangunan tahan gempa diusahakan berbentuk simetris baik untuk denah maupun arah vertikal. Level desain gaya gempa dibagi dalam tiga kategori yaitu gempa ringan, gempa sedang, dan gempa kuat. Hubungan antara gaya geser dasar dan deformasi atap dapat digunakan sebagai dasar penentuan kinerja struktur bangunan tahan gempa.
Desain struktur tahan gempa didasarkan atas kinerja struktur yang merupakan fungsi kepentingan penggunaan bangunan. Makin penting dan makin berbahaya fungsi bangunan terhadap manusia seperti gudang senjata, maka level desain gaya gempa makin meningkat dengan batas deformasi yang lebih kecil.
Seperti dalam dokumen structural engineer association of California (SEAOC) 1995, kinerja struktur dibagi ke dalam tiga bagian. Pertama, bengunan kategori basic objective seperti gedung sekolah, perkantoran, jembatan yang boleh rusak berat namun tidak roboh bila dibebani gempa kuat. Kedua bangunan kategori essential objective seperti rumah sakit, gedung pemadam kebakaran dan kantor polisi boleh rusak ringan sampai rusak moderat. Ketiga, bangunan kategori safety critical objective seperti gudang senjata


sumber: http://www.infoanda.com/linksfollow.php?lh=UFBUUAFSV1AB

Tidak ada komentar: