WELCOME TO MY BLOG (it's my life)

Keep Smiling, Always Forgiving :)

Senin, 29 Agustus 2011

Dia Hidup di Mataku-CERPEN by: Adindadear Chica


Langit itu sangat cerah, dihiasi mentari abadi, gumpalan awan bergerak tertiup angin menambah indahnya pagi itu. Tapi semua itu tak terlihat olehku, setiap hari, setiap jam, bahkan setiap detik hanya kegelapan yang kulihat. Yah, aku mengalami kebutaan sejak sejak 3 tahun lalu. Kecelakaan yang telah melukai mataku sehingga aku menjadi gadis buta juga menelan nyawa orang yang aku sayangi yaitu Ayahku. Kini aku tinggal bersama Ibuku dan seorang Adikku. Entah bagaimana mulanya pagi ini aku melamun mengingat peristiwa menyakitkan itu. Lamunanku seketika hilang saat aku mendengar suara yang menyapaku.

“Selamat pagi, Cantik!” sapa Dhera.
“Dhera, ini benaran elo? Kapan elo datang? Jahat elo, lama banget sih perginya!” tanyaku, protes sambil meraba-raba wajah Dhera.

Dhera adalah sahabatku, ia adalah sahabat yang sampai saat ini masih setia menemaniku. Sudah 3 minggu terakhir dia pergi ke Singapore, aku tidak tahu pasti kemana ia pergi, tapi menurut penjelasannya, ia pergi untuk melakukan hal yang tidak bisa ditundanya dan ia juga tidak memberitahuku apa yang dilakukannya, katanya sih surprise. Yah itulah Dhera, selalu memberikan kejutan-kejutan kecil dalam hari-hariku.

“Kenapa tanya-tanya? Kangen ya ma gw?” tebak Dhera.
“Idih, siapa juga yang kangen? Ich, geer banget sih! Gw tuh gak kangen sama elo, cuma gw ngerasa sepi aja kalau elo kelamaan pergi” jawabku, membela diri.
“Sama aja kali, ujung-ujungnya juga kan kangen, hehe” goda Dhera.
“Ya terserah elo aja deh mengartikannya apa, yang penting elo jangan pergi kemana-mana lagi. Ok?” tanyaku, meyakinkan.
“Gak janji deh, karena gw gak bisa lama-lama disini” jawab Dhera.
“Maksudnya? Elo mau pergi lagi gitu?” tanyaku, penasaran.
“Yaudah gak usah dipikirin, lebih baik sekarang kita jalan-jalan keluar yuk, kita lihat dunia yang indah pagi ini!” ajak Dhera.
“Nggak usah ngeledek deh!” kataku, kesal.
“Ya ampun Chika, elo tenang aja. Elo tetap bisa melihat indahnya dunia kok karena ada gw yang bakal ceritain betapa indahnya dunia pagi ini dan elo harus berimajinasi dalam pikiran elo supaya apa yang gw lihat juga terlihat oleh elo” jelas Dhera padaku.
“Kalau gw gak bisa bagaimana?” tanyaku, heran.
“Kalau elo gak bisa biar gw yang jadi mata buat elo” jawab Dhera, yakin.
thank’s yah!” jawabku, terharu.

Pagi itu Dhera dan aku pergi ke sebuah taman, disana ia menceritakan padaku seperti apa indahnya dunia saat itu. Disampingnya aku merasa seperti gadis normal, tanpa kebutaan dalam diriku, ia benar-benar seperti mata bagiku. Seharian itu aku terus bersamanya, hingga malam pun tiba. Saat aku telah berada dirumah, aku merasakan malam ini berbeda dari malam-malam sebelumnya, saat itu hanya keresahan dan ketakutan yang kurasakan, hingga rasa takut itu membawaku terlelap dalam tidurku.

Keesokkan harinya saat aku terbangun, aku merasa ranjangku menjadi lebih sempit dari biasanya dan aku mendengar banyak suara disekelilingku.

“Nak, sekarang kamu ada dirumah sakit. Ada seseorang yang baik hati yang mau menyumbangkan kornea matanya untukmu” terdengar suara Ibu berbisik ditelingaku.

Tanpa aku berbicara sepatah kata pun, tiba-tiba aku merasa ranjangku didorong dan terhenti disuatu tempat. Tak lama aku kembali terlelap, mungkin karena obat bius untuk mengoperasi mataku. Tak tahu apa yang terjadi padaku selama sehari itu. Esok hari pun tiba, aku kembali mendengar banyak suara disekelilingku.

“Nah Dik, sekarang Dokter akan membuka perbanmu” terdengar suara seorng pria berbicara didekatku.

Saat itu aku merasa sesuatu yang melilit dikepalaku terlepas dan sesuatu yang diambil dari depan kelopak mataku juga terangkat.

Beberapa saat kemudian Dokter memintaku untuk membuka mataku perlahan. Dan sesuatu yang selalu kuimpikan, saat itu tercapaikan. Aku dapat kembali melihat, aku dapat melihat Ibuku, Adikku dan segalanya di ruangan itu. Tapi ada satu yang tak terlihat olehku, Dhera. Aku tak melihatnya saat itu, kemana ia? Dimana ia saat aku bisa kembali melihat dunia?. Aku mulai bertanya kepada Ibu tentang keberadaannya, tapi Ibu hanya mengatakan kalau aku bisa menemuinya esok hari.

Tak sabar rasanya aku ingin melihatnya, melihat kembali wajah sosok sahabat yang selalu ada dalam hari-hariku yang gelap dulu. Hari itu pun tiba, hari dimana aku akan kembali melihat Dhera. Aku pun pergi ke tempat itu, tempat aku akan bertemu dengannya. Ibu menemaniku ke tempat itu, tapi mengapa banyak makam di tempat ini? Aku mulai bingung dengan keadaan sekitarku. Tiba-tiba Ibuku menghentikan langkahnya, ia berhenti didekat sebuah makam yang terlihat tanahnya masih basah. Aku menjadi penasaran dengan tingkah Ibu saat itu, Ibu mengelus-elus batu nisan pada makam itu, Ibu pun mulai meneteskan air matanya. Aku mulai menyimpulkan bahwa makam itu adalah makam temannya yang baru saja meninggal.

“Bu, sudahlah Ibu jangan menangis. Mungkin teman Ibu itu sudah menemukan jalan terbaik untuk hidupnya” kataku sok tahu, padahal saat itu aku belum dapat memastikan apakah itu benar teman Ibu atau bukan karena aku sendiri tidak mendekati Ibu untuk melihat makam itu secara dekat. Saat itu Isakkan tangis Ibu malah semakin terdengar olehku, aku pun kembali mengatakan sesuatu yang membuatku semakin terlihat sok tahu.

”Ya sudah kalau memang Ibu masih ingin disini, aku duluan saja ya Bu?
Aku takut Dhera terlalu lama menungguku” kataku sambil berjalan keluar dari tempat pemakaman itu. Tiba-tiba Ibu berteriak mengatakan bahwa Dhera ada di tempat itu, aku pun menoleh ke arah Ibu dan berjalan ke arahnya. Setibanya aku didekat Ibu aku langsung bertanya padanya.

“Dimana Bu? Dimana Dhera?” tanyaku, penasaran.
“Dhera ada disini nak, tepat di bawah sebelah kanan kakimu” jawab Ibu sambil melihat ke arah makam yang ia tangisi tadi.

Aku pun melihat makam itu, aku membaca nama yang dituliskan diatas batu nisan itu “FARIDHERA”, nama itu sama seperti nama lengkap Dhera, sahabatku. Tak terasa aku telah menyucurkan air mataku dengan derasnya. Saat itu aku tak tahu harus mengatakan apa, yang aku rasakan hanya rasa sakit yang membuat air mataku tak berhenti menyirami makam itu. Tiba-tiba aku merasa sangat lelah, aku tidak bisa menggerakkan tanganku untuk menggapai batu nisan itu. Dan aku tak tahu lagi apa yang terjadi padaku saat itu.

Aku terbangun dan melihat keadaan disekelilingku, aku berada dikamarku saat itu. Aku pun tersenyum, aku berpikir kejadian tadi itu hanya mimpi bagiku.

“Bu, tadi aku bermimpi sangat buruk. Aku bermimpi kalau Dhera sudah meninggal. Padahalkan Dhera masih hidup ya Bu? Mungkin karena aku tidak sabar untuk bertemu dia ya Bu?, makanya aku jadi bermimpi yang aneh-aneh seperti tadi” tanyaku meyakinkan Ibu. Tiba-tiba saja Ibu langsung memeluk tubuhku, ia memelukku sangat erat.

“Dhera memang sudah meninggal, Nak. Tadi itu bukan mimpi, tapi itu nyata. Kamu jatuh pingsan tadi, maka dari itu kamu ada di kamarmu sekarang” terdengar suara Ibu lirih.

Ibu pun mulai menceritakan semuanya padaku, aku hanya bisa terdiam dan terus menjatuhkan air mata.

Sekarang aku harus menerima kenyataan pahit ini. Dhera telah tiada, kanker hati yang dideritanya membuatnya harus meninggalkanku dan dunia ini untuk selamanya. Ternyata kepergian dia selama 3 minggu dulu untuk menjalani pengobatan dan dia menghentikan pengobatannya karena ia tidak bisa lagi menahan sakit yang sudah ia alami sejak 1 tahun terakhir. Dia pun memutuskan untuk kembali ke Indonesia, ia ingin menemuiku untuk terakhir kalinya. Dia tidak mengingkari janjinya padaku, ia memberikan kornea matanya padaku, sekarang ia benar-benar menjadi mata bagiku.

Sahabat yang selalu menemani dalam kegelapanku dan menjadi mata bagiku kini telah tiada. “SELAMAT JALAN DHERA, walaupun elo udah nggak ada di dunia ini, bagi gw elo tetap sahabat sejati gw karena elo hidup di mata gw”.

Tidak ada komentar: